Kamis, 02 April 2009

DEMOKRASI BUKAN JALAN PERUBAHAN HAKIKI

Kondisi negeri ini meski sudah merdeka dari penjajahan fisik selama lebih dari 63 tahun hingga kini belum juga sampai pada kemakmuran dan kesejahtraan untuk rakyat seutuhnya. Sekalipun reformasi sudah berjalan sepuluh tahun kondisi kehidupan rakyat belum juga membaik. Angka kemiskinan masih juga tinggi. Menurut data BPS, anggka kemisikinan pada Maret 2008 sebesar 34,97 juta jiwa. Menurut Menkoinfo, jumlah penduduk miskin pada maret 2009 sebesar 33,714 juta jiwa dengan tingkat inflasi 9% (Beritaglobal.com).


Reformasi yang digadang-gadang bisa membawa perubahan mendasar dan luas pada kehidupan negeri ini ternyata juga tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Hal itu karena reformasi tidak dimaksudkan bagi terjadinya perubahan fundamental, maka keadaan paska reformasi juga tidak banyak mengalami perubahan. Bila sebelum reformasi tatanan negara ini bersifat sekularistik, setelah reformasi juga tetap sekular. Bahkan keadaan sekarang lebih buruk daripada sebelumnya. Korupsi meningkat tajam, kerusakan lingkungan makin menjadi-jadi, pornografi makin tak terkendali dan jumlah orang miskin masih tetap tinggi dan sebagainya. Lebih menyedihkan lagi sumber-sumber kekayaan negeri ini yang semestinya di peruntukan bagi kesejahtraan rakyat justru berpindah ke dalam cengkraman asing. Aroma pengaruh kekuatan asingpun masih terasa kental di negeri ini. Alhasil, upaya memerdekakan negeri ini secara hakiki belum juga berhasil meski sudah lepas dari penjajahan fisik lebih dari 63 tahun.
Reformasi yang sudah berjalan sepuluh tahun telah berhasil menjadikan negeri ini makin demokratis. Bahkan sekarang negeri ini dianggap sebagai negara demokratis terbesar ke tiga di dunia setelah AS dan India. Meski demikian, nyata proses demokrasi yang makin demokatis itu tidak korelatif dengan peningkatan kesejahtraan dan kehidupan rakyat yang baik. Padahal demokrasi dan proses demokrasi dianggap menawarkan perubahan kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Fakta menunjukan tawaran itu seperti pepesan kosong alias bohong.
Sekarang ditengah eforia proses demokrasi (pemilu}, perubahan kembali di gantungkan pada proses demokrasi. Hampir semua partai politik peserta pemilu 2009 menjanjikan perubahan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Janji itu tergambar saat deklarasi kampanye damai yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ), Senin (16/3), yang dihadiri para pemimpin partai dan pendukungnya. Sejak tanggal tersebut hingga jelang masa tenang sebelum Pemilu (9 April 2009), rakyat akan disuguhi berbagai celotehan janji dan mimpi tenteng perubahan dengan berbagaimacam redaksi dan visualisasi. Apakah benar Pemilu yang kesepuluh kalinya ini akan benar-benar bisa mewujudkan perubahan? Benarkah demokrasi (dengan pemilunya) bisa menjadi jalan perubahan?
Jika yang dimaksud adalah perubahan sekedar perubahan, jelas demokrasi menjanjikan itu. Bahkan dalam demokrasi bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang tetap. Hal itu karena sistem dan aturan penentuannya diserahkan pada selera akal manusia, sementara selera akal selaru berubah dari waktu ke waktu. Sesuatu yang dianggap baik hari ini bisa saja besok berubah menjadi sesuatu yang dinilai buruk. Sesuatu yang dinilai manfaat hari ini ke depan bisa dinila sebagai madarat (bahaya). Hal itu karena akal senantiasa dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kepentingan (ego). Artinya, perubahan yang ditawarkan oleh demokrasi itu akan dipengaruhi bahkan ditentukan oleh kepentingan. Dalam konteks ini kepentingan pihak-pihak yang mendominasi proses demokrasilah yang akan menentukan perubahan yang akan terjadi. Disinilah masalahnya. Melalui demokrasi perwakilan, suara ratusan ribu rakyat siasumsikan terwakili oleh satu orang wakil. Tentu saja ini adalah sesuatu hal yang yang sangat sulit kalau tidak bisa dikatakan mustahil. Pada faktanya suara wakil itu lebih memncerminkan suara dan kepentingannya sendiri. Bahkan fakta menunjukan lebih sering justru kepentingan pihak lain yang lebih menonjol, selain suara dan kepentingan wakil rakyat itu sendiri dan kelompoknya. Hal ini karena demokrasi itu dalam prosesnya membutuhkan biaya mahal. Di sinilah peran para pemodal yang berinisiatif melalui proses demokrasi menjadi sangat menonjol dan sangat menentukan. Ironisnya semua itu selalu diatas namakan suara dan kepentingan rakyat karena rakyatlah yang memilih orang-orang yang mewakili mereka. Dengan demikian kepentingan para pemodal demokrasi itulah yang menjadi penentu arah perubahan yang terjadi. Jadi demokrasi memang menjadikan perubahan tetapi bukan perubahan yang memihak kepentingan rakyat, tetapi memihak kepentingan aktor-aktor demokrasi dan para pemodal mereka.
Lebih dari itu, seandainya dengan demokrasi itu tercipta kondisi yang baik yang sepenuhnya memihak kepentingan rakyat miskin ini selalu saja masih menggantung jadi mimpi demokrasi tidak bisa menjamin kondisi baik itu bisa terus berlangsung. Justru demokrasi menjamin kondisi yang baik itu pasti berubah yang belum tentu menjadi lebih baik. Hal itu karena wakil rakyat dan pemimpin yang baik yang terpilih melalui proses demokrasi itu harus dipilih ulang. Pemimpin yang baik itu dibatasi jangka waktunya dan harus diganti ketika sudah habis. Bahkan setelah jangka waktu tertentu ia tidak boleh dipilih kembali. Tidak ada jaminan tabiat pilihan masyarakat dalam tatanan sekularistik-Kapitalis akan bisa menjadi pemimpin yang penuhi hak-hak asasi rakyatnya. Karakter sistemnya eksploitatif dan hanya memihak kelompok korporasi pemegang modal besar yang selalu menjadi pilar tegaknya sistem ini. Hal itu menunjukan bahwa demokrasi hakikatnya memang bukan sistem yang baik, dan bukan sistem yang menawarkan perubahan lebih baik secara hakiki.
Hal itu wajar karena demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tentu saja sarat dengan kelemahan dan kekurangan serta tidak bisa melepaskan diri dari kepentingan. Lebih dari itu, demokrasi sebagai sebuah sistem bertentangan dengan Islam, karena inti dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Makna praktis dari kedaulatan ada hak membuat hukum. Itu artinya demokrasi menjadikan rakyat riilnya adalah wakil-wakil rakyat sebagai pembuat hukum. Sebaliknya dalam Islam membuat dan menentukan hukum itu adalah hak Allah SWT. Artinya dalam Islam hanya Syara’ yang berhak membuat hukum.
Allah telah menjelaskan bahwa hanya Islamlah sistem yang bisa menawarkan kehidupan kepada umat manusia. Hanya Islamlah yang bisa membawa manusia menuju cahaya, sementara sistem selain Islam justru mengeluarkan mengeluarkan manusia dari cahaya menuju kegelapan. Allah SWT menegaskan hal itu dalam firman-Nya :
Allah pelindung orang-orang yang beriman; di mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan (kekafiran). (QS. al-Baqarah ; 257)

Comments :

0 komentar to “DEMOKRASI BUKAN JALAN PERUBAHAN HAKIKI”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by atras