Kamis, 02 April 2009

Bahaya Laten; Bukan Monopoli Komunisme?

Bahaya Laten; Bukan Monopoli Komunisme?

Dibukanya “keran” kebebasan telah memunculkan kekhawatiran akan bangkitnya kembali PKI di tanah air ini. Lagi pula adanya organisasi serta partai politik yang memiliki asas dan mengemban beragam ideologi —sebagai hal yang tidak ditabukan dalam wacana politik demokrasi— disinyalir bertanggung jawab atas terbukanya jalan bagi sosialisme “bersemi” kembali dalam bumi Indonesia.


Kekejaman dan kebiadaban PKI (Partai Komunis Indonesia) —melalui petualangannya tahun 1965— memang telah membuat luka yang teramat dalam bagi rakyat di negeri ini, terutama dari kalangan ummat Islam. Namun agaknya mereka lupa bahwa ada hal yang semestinya juga dihindari dan dilepaskan dari dirinya, yaitu memutuskan jerat kapitalisme dan segala hal yang terlahir dari ideologi ini. Terutama melihat kenyataan masa kini: dunia tengah berada dalam dominasi kapitalisme semenjak runtuhnya kekuasaan komunisme bersamaan dengan kehancuran negara pengembannya (Uni Sovyet). Bukan mustahil, bahaya laten komunisme yang menjadi menghantui bangsa-bangsa di dunia akan beralih menjadi bahaya laten kapitalisme yang tak kalah ganas.
Tulisan ini bermaksud mengupas tuntas apa dan bagaimana kapitalisme. Juga memberikan sedikit gambaran bagi masyarakat mengenai kesalahan dan kekurangan kapitalisme, khususnya ditinjau dari sudut pandang agama (Islam) sebagai konsistensi keberagamaan penduduk negeri ini.

Sekilas Kelahiran Kapitalisme

Perihal kapitalisme, ideologi ini lahir tatkala para penguasa di Eropa abad pertengahan telah menjadikan agama sebagai alat mengokohkan otoritas mereka (teokrasi) dan dengan dalih agama pula mereka melakukan kesewenangan terhadap rakyat, sehingga melahirkan penderitaan yang sangat panjang. Hal ini memicu pergolakan sengit yang kemudian mengantarkan kepada kebangkitan para filosof dan cendekiawan. Mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan ini menyerukan ide agar masyarakat mereka saat itu memisahkan antara agama dan kehidupan (sekularisme). Atas dasar ide ini, mereka berpendapat bahwa manusialah yang berhak membuat peraturan hidupnya sendiri dalam rangka mempertahankan kebebasannya, yang menurut mereka terdiri atas: kebebasan beraqidah (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan berkepemilikan (freedom of ownership), dan kebebasan pribadi dalam bertingkah laku (personal freedom). Dari kebebasan berkepemilikan (salah satu dari keempatnya) ini muncullah sistem ekonomi kapitalisme. Belum lagi teori Malthus dan teori Darwin, di samping teori-teori ekonomi yang dikemukakan Adam Smith dkk., sedikit banyak memiliki andil tumbuh-berkembangnya kapitalisme, khususnya bidang ekonomi. Sampai saat ini di dunia Barat, terbukti kapitalisme telah berakar kokoh dan sangat mempengaruhi elit kekuasaan; bisa dikatakan penguasa yang sebenarnya adalah para konglomerat (kaum superkaya/kapitalis).
Ide sekularisme ini pula yang dianggap sebagai jalan tengah dan terbaik antara pemuka agama yang menghendaki bahwa segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka atas nama agama dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari agama dan dominasi para pemuka agama. Maksudnya, sekularisme ini tidak sama sekali mengingkari adanya agama, hanya saja tidak menjadikan agama berperan dalam segala aspek kehidupan (termasuk di dalamnya politik, pemerintahan, dan ekonomi) melainkan hanya ditampakkan dalam kehidupan ritual individu.
Ideologi ini memiliki aturan dan tolok ukur khas atas perbuatan manusia di dalam kehidupan, di mana aturan dan tolok ukur tersebut dibangun berdasarkan pandangan dan penafsirannya terhadap fakta/kondisi masyarakat termasuk di dalamnya berbagai permasalahan yang timbul dalam interaksi antaranggota masyarakat. Dari titik inilah, ideologi kapitalisme “didirikan” disertai konsep-konsep berisi metode tertentu dalam mengimplementasikan aturannya.

Mengupas Kapitalisme
Saat meninjau keberadaan manusia, kehidupan, dan alam semesta serta hubungan ketiga unsur alami tersebut dengan hal-hal yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, ideologi ini menemukan pandangan bahwa keberadaan manusia, kehidupan, dan alam semesta mengindikasikan secara pasti akan keberadaan (eksistensi) Pencipta. Namun ketika lebih jauh lagi mereka mengkaji keterkaitan ketiganya dengan hal-hal sebelum dan sesudah kehidupan dunia, kapitalisme mendapatkan jawaban bahwa Sang Pencipta itu tiada berhak sedikitpun mengatur kehidupan ini, kecuali sebatas mengatur peribadatan ritual belaka. Karena itu, manusia membuat aturan tentang kehidupannya an sich yang diambil dari realita dan dinamika perjalanan hidup masyarakat manusia.
Sementara itu kapitalisme memandang tolok ukur bagi perbuatan manusia dalam aktivitasnya memenuhi kebutuhan sehari-hari adalah asas “kemanfaatan” (utility); di mana penilaian manfaat ini didasarkan pertimbangan manusia itu sendiri. Lebih lanjut dikatakan pula bahwasanya kebahagiaan di mata kapitalisme adalah terpenuhinya kebutuhan fisik yang diyakini akan membawa kepada kebahagiaan yang sesungguhnya. Atas dasar ini, kebebasan bertingkah laku menjadi suatu keniscayaan untuk dipelihara dan dijunjung tinggi dalam tata pergaulan masyarakatnya.
Akan halnya terhadap fakta/kondisi masyarakat, kapitalisme memandang bahwa masyarakat pada hakikatnya terdiri atas individu-individu. Apabila individu teratur, maka dengan sendirinya masyarakat akan teratur. Dus, titik perhatiannya adalah individu semata.
Maka menjadi kewajaran tatkala kapitalisme memandang keberadaan negara sebagai pengontrol kebebasan tiap individu. Jika seseorang melanggar kebebasan individu lainnya, maka negaralah yang mencegah tindakan tersebut. Bahkan tugas negara tidak lain ialah demi melayani dan menjamin kebebasan individu; selama seseorang tidak mengganggu kebebasan orang lain —sekalipun terdapat intimidasi dan perampasan hak-haknya— namun si “korban” merelakannya, maka tindakan tersebut tidak tergolong melanggar kebebasan, sehingga dalam kasus ini negara tidak akan turut campur.

Konsepsi Islam Versus Kapitalisme
Sebelum kita mulai pembahasan kapitalisme dalam view point Islam, terlebih dahulu kita lihat konsepsi Islam dalam memandang ketiga unsur alam (manusia, kehidupan, dan alam semesta) serta hubungan ketiganya dengan sebelum dan sesudah hidup di dunia. Pembahasan ini menjadi pokok yang harus dipecahkan sebelum meninjau aspek-aspek lain, sebagaimana solusi yang dikemukakan atas pembahasan ini akan menjadi landasan/kaidah penyelesaian berbagai problematika kehidupan secara umum.
Islam menerangkan bahwa di balik alam semesta, kehidupan, dan manusia ada Sang Pencipta (Al-Khaliq/The Creator) yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Dialah yang kemudian disebut dengan nama Allah SWT. Dialah yang telah mengutus para Nabi dan Rasul dengan membawa agama-Nya untuk seluruh ummat manusia. Selanjutnya dijelaskan bahwa kelak manusia akan di-hisab (dipertanggungjawabkan) seluruh amal perbuatannya di dunia pada hari kiamat. Karenanya, iman kepada Allah SWT harus disertai dengan keharusan beriman kepada kenabian Muhammad SAW berikut risalahnya, juga membawa konsekuensi keimanan atas keotentikan Al-Qur’an sebagai Kalamullah yang merupakan salah satu sumber hukum Syara’ (hukum Islam). Dari sini bisa kita pahami, keterikatan akan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Sang Pencipta menjadi suatu kebutuhan yang harus direalisasikan dalam kehidupan manusia.
Maka setiap manusia haruslah mengetahui hubungan dirinya dengan Allah SWT pada saat melakukan perbuatan, sehingga seluruh amal perbuatannya senantiasa relevan dengan perintah dan larangan-Nya. Di samping itu, tujuan akhir dari kepatuhan terhadap perintah dan larangan-Nya adalah mendapatkan keridhaan-Nya semata. Keridhaan-Nya inilah yang seterusnya dianggap sebagai kebahagiaan tertinggi yang diidamkan seorang Muslim, lebih dari sekedar kepuasan materi dan fisik yang menjadi dambaan ideologi kapitalisme. Sampai di sini, kita sudah dapat menilai ketidakrelevanan cara pandang kapitalisme tentang kenyataan kehidupan, manusia, dan alam semesta dengan cara pandang Islam yang nota bene merupakan agama mayoritas penduduk.
Melanjutkan tinjauan, kita melihat pada tataran selanjutnya, Islam memandang bahwa untuk menjaga masyarakat bukan ditentukan dengan akal/pemikiran manusia, akan tetapi ditentukan oleh perintah dan larangan-Nya. Pada dasarnya peraturan-peraturan (hukum) yang terjabarkan dari perintah dan larangan Allah SWT tersebut telah mencakup kesemua aspek dalam hidup manusia, antara lain: aspek relasi vertikal (manusia dengan Pencipta), aspek internal (manusia dengan dirinya sendiri), maupun aspek relasi horizontal (manusia dengan sesamanya). Aturan yang berlandaskan perintah dan larangan-Nya ini akan bersifat baku/tetap (fixed), tidak akan berubah karena bergulirnya waktu maupun kondisi kemajuan fisik masyarakat. Untuk menjaga kontinuitas aturan ini secara permanen, dibuatlah hukum-hukum yang menyangkut masalah uqubat (sanksi atas pidana, hukum, pelanggaran peraturan negara). Pelaksanaan pemeliharaan keberlangsungan aturan tersebut mutlak adanya sebagai sebuah kewajiban dilihat dari fakta bahwa aturan tersebut berasal dari perintah dan larangan-Nya sebagai Sang Pencipta yang Maha Mengatur; jadi, kewajiban ini bukan dilihat dari aspek material dan manfaat dari mata manusia sebagai makhluk-Nya yang serba terbatas kemampuannya. Bilamana kita tengok kembali cara pandang kapitalisme terhadap masyarakat, yakni sebagai kumpulan atas individu-individu yang masing-masing memiliki kebebasan, kita dapati kontradiksi yang tajam dengan Islam. Karena Islam memandang sebuah masyarakat sebagai suatu kesatuan sistem (integrated system) yang tersusun dari individu-individu berikut interaksi di antara mereka; sedang interaksi antaranggota masyarakat akan melibatkan pemikiran (afkar), perasaan (masya’ir), dan peraturan (anzhimah) yang berlaku. maka identitas suatu masyarakat sangatlah ditentukan berdasarkan ketiga faktor interaksi tersebut; jadi, masyarakat Islam adalah kumpulan individu yang terikat oleh pemikiran, perasaan, dan peraturan yang bersumber dari Islam.
Kemudian secara eksplisit, kapitalisme telah menggambarkan kekuasaan manusia dalam menetapkan peraturan hidupnya disesuaikan realita dan dinamika masyarakat (tidak baku), di 0sisi lain Islam justru menegaskan keharusan mengaktualisasikan norma-norma Ilahiyah yang bersifat baku dalam pengaturan masyarakat. Dengan logika sederhana saja, kita menilai bahwa peraturan yang dibuat manusia —sekalipun senantiasa dimodifikasi mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat— jelas tidak cukup qualified untuk mengimbangi (apalagi melebihi) hasil karya Sang Pencipta yang Maha Mengetahui kebutuhan makhluknya, termasuk manusia di dalamnya.
Mengenai tolok ukur bagi perbuatan manusia dalam kehidupannya, Islam memandang “halal-haram” sebagai satu-satunya asas. Artinya, setiap perbuatan yang dilakukan manusia tidak lepas dari pertimbangan relevansi (kesesuaian) dengan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya. Dengan kata lain, yang halal dikerjakan dan yang haram ditinggalkan. Prinsip ini tidak akan pernah berubah, sebagaimana ideologi kapitalisme yang telah menjadikan asas manfaat sebagai tolok ukur sehingga berimplikasi pada perubahan aturan secara terus-menerus mengiringi dinamika masyarakat, dikarenakan tolok ukur yang dipakai Islam adalah hukum Syara’. Sedangkan hukum Syara’, sebagai jabaran perintah dan larangan Allah SWT untuk menjadi pedoman perbuatan manusia, merupakan hukum yang telah baku hingga akhir masa.
Pada akhirnya, berangkat dari konsepsi-konsepsi tersebut, Islam menggariskan fungsi dari keberadaan negara adalah sebagai pengatur dan pemelihara urusan-urusan rakyat dengan memberlakukan peraturan-peraturan yang bersumber dan digali dari khazanah hukum-hukum Islam. Kalau boleh dikatakan, dan ini tidak berlebihan, keberadaan negara (sebagai institusi pengaktualisasi hukum-hukum Syara’) dalam pandangan Islam merupakan suatu yang urgen dan sampai pada taraf fardhu (kewajiban).

Sekularisme; Ketidakpatutan Bagi Islam
Sekularisme sebagai pilar pendukung tegaknya ideologi kapitalisme, bila dicermati, ternyata bukanlah sebuah gagasan yang cocok untuk segala kondisi (bersifat universal). Memang dengan munculnya sekularisme, yaitu pemisahan kehidupan dari doktrin-doktrin agama, bangsa Eropa bisa menampakkan kemajuan sains dan teknologi yang memukau. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan perkembangan kualitas masyarakatnya (ditinjau dari ketiga unsur interaksi: pemikiran, perasaan, dan peraturannya) amatlah jauh dari kata “baik”, bahkan sebagaimana terlihat dari pola hidup mereka, tersingkaplah kebobrokan dan kebejatan masyarakat yang tak ubahnya sekawanan binatang ternak.
Jadi, kebangkitan Eropa karena sekularisme bukanlah hal yang disangsikan. Tetapi yang menjadi persoalan adalah kebangkitan yang telah mereka raih tersebut bukanlah kebangkitan ideal yang seharusnya dicapai. Sebab kebangkitan materi yang dihasilkan ternyata tidaklah seimbang dengan “pengorbanan” yang harus dilakukan, yakni kehancuran tatanan masyarakat.
Maka menjadi hal yang aneh ketika orang-orang dari masyarakat dunia ketiga (baca: negeri-negeri Islam) berhasrat mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh masyarakat Eropa di atas. Tak ayal lagi, sekularisme pun dipaksakan untuk diterapkan bagi agama Islam. Padahal sekularisasi yang terjadi di Eropa ialah dilakukan atas agama Nashrani, yang pada kenyataannya memang tidak menyediakan konsepsi paripurna tentang peraturan perundang-undangan bagi seluruh aspek perikehidupan manusia, di samping agama Nashrani itu sendiri sudah out of date (hanya berlaku pada masa Nabi Isa AS dan bagi kaumnya saja). Oleh sebab itu, suatu kejanggalan (untuk tidak disebut kebodohan) memaksakan sekularisasi atas Islam. Sedangkan Islam merupakan sebuah ideologi/mabda’ (di samping dua ideologi yang lain: kapitalisme dan komunisme) yang paripurna; di dalamnya telah tercakup sebuah sistem hidup untuk manusia berisi hukum-hukum Syara’ yang dapat memecahkan problematika kehidupan.

Menentukan Sikap
Bila komunisme tampil menyeramkan dengan slogan pertentangan antarkelasnya, kapitalisme tampil simpatik dengan kegemerlapan teknologi dan glamour-nya gaya hidup tapi membawa maut yang tak kalah menakutkan. Adalah sesuatu yang absurd menganggap kapitalisme sebagai dewa. Alih-alih akan menjadi penolong dari segala krisis dan keterbelakangan, justru ia akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ummat manusia.
Sejarah telah membuktikan kehancuran ideologi komunisme secara sistemik dengan keruntuhan Uni Sovyet. Penerapan komunisme hanya bertahan 70 tahun. Sementara kapitalisme, meskipun menurut para pakar mereka sendiri sudah berada di ambang kehancuran, sampai saat ini masih menunjukkan “gigi”-nya dan masih mampu menancapkan kuku-kukunya atas masyarakat dunia. Namun yang lebih mengkhawatirkan, ia berupaya mengajak masyarakat dunia hancur bersamanya dengan slogan globalisasi (baca: universalisasi ideologi kapitalisme) yang ditawarkannya kepada dunia.
Maka tiada jalan lain untuk dilalui selain melepaskan diri dari jerat kapitalisme yang kian hari kian mencekik. Apalagi masih ada ideologi ketiga yang seringkali terabaikan, bahkan cenderung dimusuhi. Padahal kalau kita mau bersikap objektif—sebagai sikap intelektual—sejarah pula yang telah membuktikan keampuhan dan kesempurnaannya tatkala ia, ideologi Islam, diterapkan secara sistemik selama 13 abad lebih oleh institusi negara Khilafah Islamiyah sebelum akhirnya dihancurkan oleh Mustafa Kemal Attaturk, seorang Bapak Sekularisme (lagi-lagi…) Turki. Tinggal ada dua pilihan bagi kita: mengambil kapitalisme atau komunisme dan menemui kehancuran, atau mengambil “jalan ketiga” yang terbukti secara historis keagungan dan kemuliaannya?

Comments :

0 komentar to “Bahaya Laten; Bukan Monopoli Komunisme?”

Posting Komentar

 

Copyright © 2009 by atras